Zelfreflectie Week 1

In de eerste week van het project heb ik eerst samen met Gregory aan de duo-opdracht gewerkt. Dit ging zeer goed en we waren snel klaar met het werk. Vervolgens heb ik mijn solo-opdracht op donderdag…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Ketika Komunisme Memusuhi Komunisme

Kisah Tragis Kamboja dan Vietnam Dalam Perang Dingin

Pangeran Sihanohuk dari Kamboja bersama Mao Zedong

Perang dingin pada abad ke 20 adalah sebuah ajang perebutan kekuasaan global dan supremasi ideologi. Berbagai negeri mempersiapkan senjata-senjata perang, dan membangun arsenal nuklir. Meskipun hal ini terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, kedua negara tersebut tidak pernah berhadapan satu dengan yang lain.

Selain konflik konvensional ada juga Konflik terjadi di negara-negara lain melalui praktik perang proxy.

Perang ini tidak menggunakan taktik penyerangan langsung terhadap lawan, tapi menggunakan pihak ketiga untuk berperang demi ke-pentingannya seperti kisah Vietnam dan Kamboja.

Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa negara komunis yang di-dukung oleh negara komunis bisa berperang dengan negara komunis yang di-dukung negara komunis lain.

Untuk mengetahui perang Vietnam-Kamboja kita harus melihat Perseteruan pertama terjadi antara Republik Rakyat China dan Uni Soviet. Pada tahun 1960, Uni Soviet memutuskan hubungan diplomatik dengan RRC karena perbedaan ideologi antara Stalinisme dan Maoisme. Stalinisme percaya bahwa Uni Soviet memiliki hak untuk mengatur urursan ideolog RRC. RRC yang merasa terlalu di-dominasi oleh Uni Soviet akhirnya memutuskan hubungannya dengan Uni Soviet dan kedua negara pun bermusuhan.

Pada saat yang sama, Amerika sedang berperang melawan Vietnam untuk membendung ideologi komunisme aliran Uni Soviet. Amerika memberikan dana dan bantuan bagi pasukan Vietnam Selatan, sedangkan Uni Soviet membantu Vietnam Utara.

Berbatasan dengan Vietnam, Kerajaan Kamboja dibawah kepemimpinan pangeran Sihanouk mendeklarasikan dirinya sebagai negara netral. Namun secara diam-diam, dia membantu pasukan Vietnam Utara dengan memberikan mereka jalur untuk menyerang pasukan Vietnam Selatan.

Rute yang diambil pasukan Vietnam Utara. Sumber: Globalsecurity.org

Pengkhianatan Kamboja berakibat fatal. Pada 1970 Pangeran Sihanouk diturunkan dari kekuasaan dengan kudeta yang disponsori oleh AS. Pangeran Sihanouk lalu digantikan oleh Lon Nol, seorang kapten militer pro Amerika dan anti-komunisme yang mengubah Kerajaan Kamboja menjadi Republik Kamboja.

Posisi Lon Nol sebagai seorang anti-komunis membuatnya sebagai sekutu strategis pada AS. Keduanya pun bekerja sama untuk menyerang Vietnam utara.

Sementara Lon Nol berkuasa, Pangeran Sihanouk melarikan diri ke China dan meminta bantuan dari China untuk mendapatkan kekuasaannya kembali. China kemudian membantu pasukan pemberontak dengan nama “Khmer Rouge” yang dipimpin oleh Pol Pot untuk melawan pemerintahan Lon Nol. Amerika tidak tinggal diam dan mulai menjatuhkan bom pada posisi Khmer Rouge. Ribuan warga sipil yang meninggal karena kampanye pengeboman oleh Angkatan Udara AS justru makin memperkuat dukungan masyarakat Kamboja pada Khmer Rouge.

Pada akhirnya, pasukan Khmer Rogue dengan bantuan dari China mengambil alih kekuasaan dan mengubah nama Republik Kamboja menjadi Demokratik Kampuchea. Pangeran Sihanouk menjadi kepala negara sedangkan Pol Pot menjadi kepala pemerintahan.

Pada tahun 1975, Pol Pot mulai menetapkan kebijakan yang sangat radikal. Dia percaya bahwa untuk mencapai komunisme, semua masyarakat harus kembali hidup primitif.

Semua orang Kamboja diusir dari perkotaan dan hidup di pedesaan. Mereka dipaksa memakai baju yang sama, dilarang untuk menggunakan obat-obat modern, diwajibkan untuk menjadi petani dan taat pada semua perintah Pol Pot.

Pol Pot juga memerintahkan genosida terhadap semua orang yang pernah bekerja pada pemerintahan, guru, kaum intelektual, dan siapapun yang berani menentang Khmer Rouge.

Untuk menunjukan seberapa kejam pemerintahan Khmer Rouge, semua orang yang memakai kacamata dan “terdengar cerdas” dibantai habis. Pada akhir kekuasaanya, Pol Pot dikatakan telah membantai kurang lebih 2 juta orang (“Cambodia’s brutal Khmer Rouge regime”, 2018).

Ada hal yang aneh dalam pemerintahan Pol Pot. Amerika yang dulunya menyerang Pol Pot dan China justru tidak pernah menyerang Kamboja ketika dia berkuasa. Bahkan, mendukung posisi Khmer Rouge di PBB. Kenapa Amerika malah justru mendukung Komunisme?

Dukungan ini dilakukan oleh Amerika atas dasar posisi strategis dan ideologis Pol Pot. Vietnam kala itu menganut ideology komunisme versi Uni Soviet, sedangkan Pol Pot menganut Maoisme dari China. Ini membuat Pol Pot menjadi alat proxy bagi AS untuk mengalahkan Vietnam utara.

Dalam Politik, kita mengenal istilah “musuh dari musuhku adalah temanku.” Amerika dan China memegang teguh prinsip ini dan memberikan dukungan bagi Khmer Rouge untuk melawan Vietnam utara meskipun kejahatan kemanusiaan yang sudah dilakukan Khmer Rouge.

Perang antara Vietnam dan Kamboja pecah pada tahun 1978 dan berakhir pada tahun 1979 dengan kemenangan telak oleh Vietnam. Pada tahun 1981, partai pro Vietnam di Kamboja menang pemilihan parlemen meskipun tidak diakui oleh komunitas Internasional. 4 Tahun kemudian, Hun Sen menjadi perdana menteri.

Pasukan Vietnam meninggalkan Kampuchea pada tahun 1989 dan negara Kampuchea diganti namanya menjadi Kamboja, Hun Sen mulai meninggalkan ide komunisme dengan memilih kebijakan pasar bebas.

Meskipun sudah tidak berperang lagi, jejak kekejaman dari pemerintahan Pol Pot dan korban jiwa dari hasil peperangan masih menjadi luka bagi masyarakat Kamboja, dan Vietnam.

Sejarah kelam ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa perang dan kepentingan negara yang tidak bertanggung jawab bisa berakibat kematian, penderitaan, dan siksaan yang teramat besar.

Sumber:

Add a comment

Related posts:

Ugly Tattoos Are Hurting Eyes Everywhere

I t was a warm summer day when Josh walked into the café I was working at in Philly. The café was a perfect combination of coffee shop, bar, and restaurant. It was like Cheers but open all day long…

Waiting for the Wink

Learning to spot the eternal even when it's hidden.

Why our education system is so hard to change

The flaws of Singapore’s education system have been discussed for decades. The pitfalls of rote memorization, suppression of creativity, discouragement of curiosity…these issues are recurring themes…